Cerita ini fiksi, jika ada kesamaan, semuanya tidak disengaja
Mentari telah terbenam di senja ini. Sesenja hati Bintang yang telah terkoyak. Dipandangnya langit kehitaman di luar sana. Semburat ungu yang menghias senja telah lenyap. Pertanda malam kan segera menjelang.
Kabar di siang tadi bagaikan petir menyambar di siang bolong. Permohonan beasiswa yang dikirimnya sebulan lalu telah dibalas, hasilnya adalah permohonan tersebut tidak diterima. Bintang sadar bahwa nilainya memang tak setinggi bintang-bintang di langit. Terutama untuk nilai Kimia yang 'hanya' delapan. Sialan, gumam Bintang. Mana mungkin panti asuhan sanggup membayar untuk les pada guru kimia Bintang. Memang guru kimia yang mata duitan itu sanggup untuk 'membunuh' nilai raporku, dan mungkin masa depanku. Tetapi ia tak dapat membunuh ilmuku, gumamnya yakin.
Namun apa yang terjadi sekarang? Ya, selulus SMA aku harus keluar dari panti. Memberi kesempatan pada adik-adikku yang lain. Karena itu aku ingin kuliah. Mencari beasiswa, dan tinggal dimanapun jadi. Bekerja tambahan mungkin perlu. Tapi, semua anganku pudar. Pudar, seperti hilangnya mentari diufuk barat
"Kak Bintang, kak Bintang, kok diam terus?" Nino tiba-tiba datang sambil membawa bola plastiknya. Aku hanya tersenyum. Nino mendekatiku. "Kakak sedih ya? Kenapa?" "Nggak kok Nino. Kakak cuma capek aja." ujarku menghindar.
"Kata Bunda kakak nggak diterima beasiswa kuliah ya?" Bunda adalah panggilan kami untuk pemilik panti, sekaligus pengasuh utama kami. Ia tahu satu-persatu hal ihwal dari tiap kami, hingga bagian yang kecil-kecilnya. Tapi tak urung aku merasa heran dengan perkataannya. Nino maksudku. Ia masihlah bocah berumur delapan yang tak perlu tahu tentang sulitnya kehidupan. Karena hidup di panti tanpa kasih sayang orang tua sudah cukup untuk menggetirkan hidupnya.
Rupanya tadi aku terdiam cukup lama. Wajah Nino jelas menunjukkan kekhawatiran. Akupun mencoba tersenyum, dan menjawab. "Iya Nino. Tapi itu bukan masalah besar kok." "Tapi Kak, kakak kelihatan sedih. Kakak bilang aja yang benernya ke Nino, Nino kan bukan anak kecil lagi." Aku mengusap-usap kepala Nino sambil mempertimbangkan, layakkah bocah kelas tiga SD ini menjadi pendengar dalam curhatku yang rumit ini?
Akhirnya aku menyerah. Dan memercayakan cerita ini padanya. "Dulu, waktu aku masih umur delapan sepertimu, ayah-ibuku dan aku hidup bahagia di rumah. Tetapi tak lama, semua berakhir. Tak perlu kau tahu mengapa. Namun ibuku sempat berpesan "Bintang, kamu anak laki-laki, harus terus sekolah. Jadilah sarjana. Jadilah engkau bintang sesungguhnya di langit, yang selalu setia menerangi dunia dengan cahaya ilmu kamu". Tiga bulan lalu akupun melamar beasiswa kuliah, karena aku tak mungkin mengharapkan orang lain membayar kuliahku. Tetapi yang ini ditolak. Asaku habis sudah. Aku sudah mengecewakan ibu.".
Nino mengangguk-angguk. Tetapi segera menyahut. "Kak, itukan baru dari PTN A. Bagaimana dengan lamaran yang lain?".
"Ah Nino, kalau itu saja tak dapat, apalagi yang lain? Lagian yang lain itu jauh dek, jauh dari sini dan dari isi kepala kakak." jawabku sambil tertawa.
-------------------------------------------------------------------------------Pagi itu hari yang sepi, seharusnya. Tetapi pagi ini heboh. Nino menangis karena bola plastiknya hilang. "Hiks-hiks. Dari kemarin sore Bunda. Nino kan enggak kemana-mana, pe-er Nino kemarin banyak.".
Aku jadi heran "Lho Nino kan kemarin bawa bola ke kamar kakak? Lupa ya?".
Giliran Ari yang bingung. "Nino kemarin sore ngerjain pe-er sama Ari sampai malam kok?"
--- Ya, inilah kehebohan pertama--
Surat itu datang. Dari negeri singa. Apa? Aku diterima! Astaga. Dari tempat yang jauh aku mendapatkannya. Bunda tak henti memberi ucapan selamat padaku. Aku bahagia, sangat bahagia. Yo berkemas!!
--- kehebohan kedua, pagi menjelang siang---
Empat tahun berselang
Tidak lama lagi wisuda. Aku sangat bahagia, terutama setelah skripsiku lulus ujian sidang. Kukirim surat pada Bunda. Aku tahu beliau tak mungkin datang, meskipun aku berharap beliau dapat menyaksikan saat-saat bahagia nanti. Aku pun tidur karena ini sudah malam, sambil memeluk foto Bunda dan teman-teman pantiku. Alex, teman sekamarku hanya tertawa melihatku bertingkah seperti itu. Cuek ah, hahaha sorry Alex, saya memang freak kok.
Surat balasan dari Bunda akhirnya kuterima tiga hari kemudian. Seperti sudah kuduga sebelumnya, beliau tak bisa datang. Tapi Nino dan Ferdi akan datang. Hah? Wow keren! Tapi siapa yang bayarin yah? Ini kan nggak sangat penting. Tetapi ya sudah, syukuri saja lah...
-------------------------------------------------------------------------
Ternyata Ferdi tak jadi ikut. Sakit, kata Nino padaku. Tetapi itu tak masalah. Satu orang datang saja sudah hebat. Nino mengambil gambarku saat aku sudah memakai toga lengkap.
"Marcellinus Bintang Mahendra!"
Tepuk tangan memenuhi seluruh auditorium tempat wisuda. Nino lagi-lagi mengambil gambarku saat aku menerima piagam dari sang rektor. Mataku sedikit berkaca-kaca. Terimakasih Tuhan! Aku sudah memenuhi permintaan ibuku. Ayah, Ibu, semoga engkau berbahagia di sana melihat aku di sini sekarang.
Sehabis wisudaan, aku berniat menelpon Bunda. Tetapi Nino mencegatku, rupanya ia pamit pulang. Aku mengangguk. Setelah itu aku menelpon Bunda. Bunda ikut bahagia dan terharu. "Ya ampun, baguslah nak, sekarang nak Marcellinus Bintang udah jadi sarjana sains, Bunda ikut senang." Tetapi percakapan selanjutnya tidak terduga olehku.
"Nino? Dua hari lalu ia meninggal, sakit kanker otak, dan kami terlambat tahu nak... Bunda juga belum beritahu Bintang karena nggak ingin mengganggu momen bahagia Bintang..."
Aku bingung. "Lho di surat itu.." Untung surat itu kukantongi. Kubaca lagi. Lho! Tak sedikitpun ada kata menyinggung Nino. "Iya nak, di surat itu Bunda nggak bilang Nino meninggal, maaf ya Bintang." .
"Lho Bunda, tadi Nino fotoin Bintang."
"Ndak mungkin lah, SLR Bunda yang dulu biasa dia pakai ada di sini."
"Coba cek foto-fotonya Bunda!"
"Lho, ada fotomu nak! Toga biru? Kacamata frame hitam?"
"Iya Bundaaaa" jawabku lemas. Aku pun pingsan.
Saat siuman, aku sudah di kamar. Alex menunjukkan secarik surat. "Dari Nino, adik di panti asuhan kamu dulu ya?" ucapnya penuh empati. Aku mengangguk. Kubaca surat itu.
Kak Marcell, aku boleh memanggil dengan nama depan ya kak? Kak Marcell, ini Nino. Nino bahagia kakak udah berhasil. Kakak jangan bingung ya, Nino sayang kakak. Nino sayang kak Marcellinus Bintang Mahendra yang udah jadi sarjana sains. :)
"Sudahlah Tang, nggak semua hal di dunia ini perlu logika pembuktian" ujar Alex simpati. Ya, Alex benar. Terimakasih Tuhan atas adik Nino, siapapun dia. Dialah cahaya dalam hidupku, yang tak kunjung terbenam seperti cahaya mentari.
(Surabaya, 10 Juli 2011)
[oleh: XI Akselerasi/5]